Bali, Mari Kita Mendukung Penuh Asian Games 2018 - Jakarta Palembang

Bali, Mari Kita Mendukung Penuh Asian Games 2018




Tidak lama lagi Indonesia akan mengadakan Pesta Olahraga Asia atau yang biasanya disebut dengan Asian Games, pemerintah kita terus berbenah baik dari segi sarana maupun prasarana, Sama seperti kota Jakarta dan Palembang, Bali juga ikut serta memeriahkan dan mendukung penuh Asian Games walaupun tidak menjadi Host Cabang Olahraga dalam perhelatan akbar Asian Games, Bali tetap ikut mendukung dan memeriah kan Asian Games Jakarta-Palembang, Yuk ikutan mendukung dan memeriahkan Asian Games 2018 dengan 5 cara sederhana berikut:


Kampanye Ayo Jadi Tuan Rumah Yang Baik!
1. Tertib Sampah
Mari kita membiasakan budaya tertib membuang sampah pada tempatnya, dengan begini kita sudah menciptakan suasana nyaman dan tentram bagi Negara lain yang ikut berperanserta dalam acara Asian Games ini.

2.Ramah
Bali terkenal akan ke keramahtamahan nya dan murah senyuman nya, mari jadikan senyuman ini menjadi energi positif untuk pulau Bali, dengan demikian semoga Indonesia akan menjadi Tuan Rumah paling Ramah dalam Asian Games.

3. Tertib Antre
Kita sebagai harus membudayakan sikap tertib antre, walaupun kita tidak sebagai Host Cabang Olahraga Asian Games kita harus menjadi contoh yang baik untuk negara lain yang sedang berkunjung ke Bali ataupun yang sedang bertanding di Asian Games.

4. Tertib Berkendara
Bhin Bhin,Kaka,AtungTertib Berkendara adalah salah satu cara untuk menjadikan Indonesia menjadi tuanrumah yang baik, dengan adanya tertib berkendara menciptakan lingkungan lalulintas di area Asian Games menjadi lancar tanpa kendala, tertib berkendara juga kita butuhkan di Bali agar tercipta nya suasana nyaman terhadap Wisatawan Asing yang sedang berkunjung ke Bali

5. Sportif
Mari ciptakan budaya sportif baik di pertandingan maupun diluar pertandingan Asian Games, dengan tidak menyebar HOAX  yang tidak bertanggungjawab yang mengakibatkan tim lawan gugur dalam pertandingan, dan selalu menerima kekalahan atau kemenangan secara sportif tanpa adanya kekerasan, atau biasanya kita sebut berlapang dada

Itulah 5 cara sederhana untuk mendukung Indonesia menjadi tuanrumah yang baik, selain itu kita dapat mencontoh prilaku Mascot Asian Games walaupun Bali tidak menjadi Host Cabang Olahraga Asian Games, Yuk simak prilaku yang bisa kita ambil dari Mascot Asian Games.


Cendrawasih
1.Bhin-Bhin a.k.a Bhineka

Mewakili Strategi, Prilaku yang kita bisa ambil dari maskot ini adalah kita harus memberikan motivasi atau masukan untuk para atlet atlet kita yang sedang bertanding dalam Asian Games, selain itu kita diajarkan untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan

Rusa Bawean Atung
2. Atung a.k.a Tunggal
Mewakili Kecepatan, Prilaku yang kita bisa ambil dari maskot ini adalah kita harus cepat dari siapa pun, dan harus menjadi yang pertama dari siapapun, ini membuktikan kita tidak boleh menyerah dan harus tetap bersama menjaga ketertiban dan kenyamanan Asian Games
Kaka - Badak Bercula Satu.
3.Kaka a.k.a Ika
Mewakili Kekuatan, Prilaku yang bisa kita ambil adalah memperkuat persatuan dan kesatuan ataupun ke-bersamaan bangsa kita dalam menyambut Asian Games serta melambangkan kekuatan atlet atlet yang sedang berlaga di Asian Games


Itulah beberapa contoh prilaku yang kita bisa contoh untuk mendukung dan menyukseskan Asian Games, Yuk sukseskan Asian Games 2018 dengan 5 cara sederhana diatas, Semoga dengan artikel sederhana ini Warga Bali bisa mendukung penuh Asian Games 2018 : Jakarta - Palembang.

Pura Sakenan

Pura Sakenan terletak di Pulau Serangan, Desa Serangan, Denpasar Selatan. Pura atau kahyangan ini dibangun oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha bersamaan dengan pembangunan beberapa pura lainnya pada zaman pemerintahan raja suami-istri Sri Masula Masuli. Dalam lontar Usana Bali antara lain disebutkan, Mpu Kuturan juga disebut Mpu Rajakretha. Ia membangun pura berdasar konsep yang dibawanya dari Majapahit (Jawa Timur), diterapkan di Bali seluruhnya. Mengenai bertahtanya Sri Masula Masuli di Bali dapat diketahui dari prasasti Desa Sading, Mengwi, Badung. Prasasti itu bertahun Icaka 1172 atau 1250 M. Di situ disebut, Raja Sri Masula Masuli menjadi raja di Bali sejak tahun Icaka 1100 (1178 M). Raja ini memerintah selama 77 tahun. Artinya, ia mengakhiri pemerintahannya sekitar tahun Icaka 1177 (1255 M). Ketika Danghyang Nirartha mengadakan
Pura Sakenan di Pulau Serangan , Baliperjalanan keliling Bali mengunjungi tempat-tempat suci, ia sampai pula di Pulau Serangan. Lalu, di bagian barat pantai Pulau Serangan dibangunlah pura. Di situ, Danghyang Nirartha dapat menyatukan pikirannya secara langsung. Mengenai peristiwa ini, dalam Dwijendra Tattwa, antara lain diuraikan sbb.; รƒ¬รƒ–sesudah Danghyang Nirartha mensucikan diri di Bukit Payung, lalu beliau meneruskan perjalanan dengan menyusur pantai laut yang sangat indah dan mempesonakan menuju arah utara. Pantai yang dilalui cukup permai dengan pasirnya yang memutih memberikan keindahan alam yang mempesonakan, ditambah lagi dengan herembusnya angin dan lautan yang dapat menyegarkan jasmani beliau.รƒ® Lalu disebutkan lagi, รƒ¬Dalam perjalanannya ini kemudian beliau menjumpai dua buah pulau kecil yaitu Nusa Dwa. Di pulau ini Danghyang Nirartha lagi beristirahat untuk melepaskan lelah, dan di sinilah beliau menyusun sajak atau kakawin Anjangsana Nirartha. Setelah selesai mencatat dan menyusun segala sesuatu yang berkaitan dengan sajak ini,
Danghyang Nirartha lagi melanjutkan perjalanan menuju arah utara.รƒ® Tak dikisahkan bagaimana halnya di dalam perjalanannya, sampailah Danghyang Nirartha di suatu pulau kecil yaitu Serangan. Pada pantai bagian barat Pulau Serangan, Danghyang Nirartha beristirahat sambil mengagumi keindahan alam sekitarnya. Di tempat itu ia merasakan dan menyaksikan perpaduan harmonis antara daratan pulau Serangan dengan laut yang mengelilinginya. Karenanya, Danghyang Nirartha berketetapan hati dan memutuskan untuk tinggal dan bermalam beberapa hari di sana. Akhirnya, di situlah Danghyang Nirartha membangun palinggih (bangunan suci) di Pura atau Kahyangan Sakenan. Sakenan berasal dan kata cakya yang berarti dapat langsung menyatukan pikiran. Pujawali atau piodalan di Pura Sakenan jatuh pada setiap 210 hari, pada Sabtu Kliwon, wara Kuningan, bertepatan dengan hari raya Kuningan. Sedangkan keramaiannya diselenggarakan pada

Pura Sakenan di Pulau Serangan di kala siang hari
Minggu Umanis, wara Langkir. Ada hal penting yang setidaknya harus diperhatikan oleh para umat atau pemedek yang hendak tangkil ngaturang bakti atau bersembayang ke Pura Sakenan. Konon, hal ini masih rancu terjadi. Yang sering terjadi, umat melakukan persembahyangan di Pura Dalem Sakenan (pura yang di pinggir paling barat) dan di Pura Susunan Agung (di sebelah timur Dalem Sakenan), setelah itu langsung pulang. Dalam pasamuan atau rapat nyanggra piodalan di Pura Sakenan yang sudah digelar, dijelaskan bahwa persembahyangan itu merupakan satu paket. Artinya, pemedek harus bersembahyang (1) ke Pura Susunan Wadon รƒ³ sekitar 0,5 km ke timur Pura Sakenan), (2) ke Pura Susunan Agung, dan (3) ke Pura Dalem Sakenan รƒ³ pada pelingih paling barat di pinggir pantai yang berbentuk Padmasana. Dalam kajian sastranya, rangkaian ini bisa di telusuri dari kata Pura Susunan Wadon, Susunan Agung, dan Pura Dalem Sakenan. Terdapat suatu pengertian Purusa, Pradhana dan Susunan Agung adalah Lingga, Yoni dan Susunan Agung adalah tempat penyatuan antara Purusa dan Pradana รƒ³ penyatuan sang diri dengan maharoh sebagai asal mula setiap mahluk hidup. Pemahaman inilah yang ditemukan Mpu Kuturan sehingga melahirkan Pura Sununan Lanang dan Susunan Wadon. Pun dengan kehadiran Dang Hyang Nirartha, juga terjadi hal yang sama. Sehingga, sebagai penghormatan terhadap beliau, maka dibuatkanlah pelinggih Pura Dalem Sakenan yang merupakan penyatuan antara Siwa dan Budha

Makam Raden Ayu Siti Khodijah di Kota Denpasar

Makam ini terletak di Desa PemecutanDi Kota Denpasar terdapat sebuah makam seorang puteri muslim yang bernama Raden Ayu Siti Khotijah. Namanya dikalangan muslim tentu sangat familiar, walau berbeda penulisan dan pengucapannya, bahwa nama tersebut sama dengan nama istri Nabi Muhammad SAW, Siti Khadijah. Dari buku yang dijual di sekitar makam, Raden Ayu Siti Khotijah, yang punya nama asli Gusti Ayu Made Rai atau disebut juga dengan Raden Ayu Pemecutan ini adalah seorang putri dari Raja Pemecutan. Namun tidak jelas dari Raja Pemecutan yang mana.
Cerita awal sang Raden Ayu Pemecutan, seperti cerita legenda putri-putri keraton di seluruh nusantara. Sang putri terkenal cantik dan disayang hingga menjadi kembang kerajaan. Tak sedikit para pembesar kerajaan di Bali yang ingin meminang sang putri. Namun musibah datang, sang putri mengidap penyakit kuning. Raja Pemecutan berusaha untuk menyembuhkan sang anak kesayangan, namun tak berhasil menyembuhkan sang putri. Hingga Raja Pemecutan membuat sebuah sayembara yang bisa menyembuhkan penyakit sang putri, jika perempuan akan diangkat jadi anak raja dan jika laki-laki akan di kawinkan dengan Raden Ayu Pemecutan.
Kabar tentang sayembara ini terdengar oleh seorang ulama di Yogyakarta dan mempunyai seorang anak didik yang jadi raja di Madura yaitu Cakraningrat IV. Ulama yang dalam buku Sejarah keramat Raden Ayu Pemecutan disebut Syech ini memanggil Cakraningrat IV ke Yogyakarta untuk mengikuti sayembara tersebut. Raja Madura ini berangkat ke Bali, hasilnya dapat ditebak Raden Ayu Pemecutan dapat disembuhkan oleh Cakraningrat IV.
Setelah sang putri sembuh, lalu Raden Ayu Pemecutan dan Cakraningrat IV dikawinkan. Tentunya dalam perkawinan muslim, keuanya harus beragama Islam, Raden Ayu Pemecutan pun jadi mualaf dan bergelar Raden Ayu Siti Khotijah. Sang putri lalu di boyong ke Madura oleh Cakraningrat IV.
Makam keramat raden ayu siti khodijahSuatu ketika Raden Ayu  pulang ke Bali beserta 40 orang pegiring dan pengawal. Cakraningrat IV memberikan bekal berupa guci, keris dan sebuah pusaka berbentuk tusuk konde yang diselipkan di rambut sang putri. Sesampainya di kerajaan Pamecutan, Siti Khotijah disambut dengan riang gembira. Namun, kala itu tidak ada yang mengetahui bahwa sang putri telah memeluk agama Islam. Suatu hari ketika ada suatu upacara Meligia atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang dilanjutkan dengan Ngelingihan (Menyetanakan) Betara Hyang di Pemerajan (tempat suci keluarga) Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat kelahirannya. Pada suatu hari saat sandikala (menjelang petang) di Puri, Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Kotijah menjalankan persembahyangan (ibadah sholat maghrib) di Merajan Puri dengan menggunakan Mukena (Krudung). Ketika itu salah seorang Patih di Puri melihat hal tersebut. Para patih dan pengawal kerajaan tidak menyadari bahwa Puri telah memeluk islam dan sedang melakukan ibadah sholat. Menurut kepercayaan di Bali, hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai penganut aliran ilmu hitam.
Akibat ketidaktahuan pengawal istana, ‘keanehan’ yang disaksikan di halaman istana membuat pengawal dan patih kerajaan menjadi geram dan melaporakan hal tersebut kepada Raja. Mendengar laporan Ki Patih tersebut, Sang Raja menjadi murka. Ki Patih diperintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti Khotijah. Raden Ayu Siti Khotijah dibawa ke kuburan areal pemakaman yang luasnya 9 Ha. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya “aku sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak.” Demikian kata Siti Khotijah.
Raden Ayu berpesan kepada Sang patih “jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam, karena senjata tajam tak akan membunuhku. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih serta dililitkan dengan benang tiga warna, merah, putih dan hitam (Tri Datu), tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat”.
Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badanya keluar asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Peristiwa itu sangat mengejutkan para patih dan pengawal. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan belia . Jenasah Raden Ayu dimakamkan di tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut kramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang dibunuh. Untuk merawat makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.

Pura Agung Jagatnatha, Sungsungan Umat Hindu di Bali

Pura jagatnatha di pulau bali
Pura Agung Jagatnatha berlokasi di sebelah utara Museum Bali, yang di depannya terbentang luas lapangan Puputan Badung (I Gusti Ngurah Made Agung).
Pura Agung Jagatnatha yang diresmikan pada 13 Mei 1968 ini, didirikan karena banyaknya pendatang dari berbagai desa di Bali yang saat berkunjung ke Denpasar tidak menemukan tempat sembahyang.

Pura suci umat hindu di pulau baliMaka, Pura Agung Jagatnatha menjadi sungsungan umat Hindu yang menetap atau merantau di Denpasar.
Pura Agung Jagatnatha memiliki sebuah pelinggih Padmasana yang menjulang tinggi mencapai sekitar 15 meter.
Selain Padmasana, di pura ini terdapat dua pelinggih tajuk yang berdiri di kiri-kanan depan Padmasana. Sementara, pelinggih Ratu Niang berdiri di timur laut. Di situ juga ada pelinggih Dalem Karang dan pelinggih Ratu Made. Di dekat pelinggih Ratu Niang, tumbuh pohon bodi.

Seperti umumnya pura-pura yang lain, di situ juga terdapat Bale Kulkul, Pamiyosan, Bale Paselang, Bale Gong, Candi Bentar, dan Kori Agung (pemedal agung).
Biasanya umat bersembahyang ke sini saat upacara Hari Raya Galungan,  Kuningan, Hari Saraswati, Purnama Tilem. Wisatawan mancanegara juga sering mengunjungi pura untuk melihat-lihat arsitektur pura.

Sejarah Puputan Badung ada di BPAD Denpasar, Kok Bisa?

Bagi pecinta sejarah, mahasiswa, penulis, maupun masyarakat luas yang ingin tahu bagaimana kisah Heroik Puputan Badung yang terjadi tahun 1906 silam, bisa diulas pada buku 'Seabad Puputan Badung' Perspektif Belanda dan Bali.

Buku setebal 198 halaman ini dengan mudah bisa dijumpai di Perpustakaan Umum Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Kota Denpasar di Jalan Surapati.
Editor Helen Creese, Darma Putra, Henk Schulte Nordholt menterjemahkan kembali 3 teks Belanda yang salah satunya berupa laporan resmi pimpinan staf ekspedisi militer Belanda Jendral Rost Van Tonningen dan dua teks berupa laporan saksi mata.
Selain itu, juga diterjemahkan teks perspektif Bali diantaranya buku catatan harian Perang Badung 1906, Kidung (geguritan) bhuwanawinasa, cerita seorang wanita hamil muda tentang Puputan Badung, serta Babad Arya Tabanan.
Maket ini tersedia di museum tesebutCerita seorang wanita hamil muda mengungkapkan pengalaman yang berbeda, yaitu pengalaman dan perasaan seorang istri yang hamil muda sewaktu perang terjadi.

Wanita hamil muda tersebut bernama Jero Nuraga berasal dari Desa Penarungan, Mengwi. Dia merupakan istri dari AA Alit Badra, putra sulung dari Ida Cokorda Alit Ngurah Pemecutan yang bertahta di Puri Denpasar sampai tahun 1901.
Tulisan ini mengisahkan pengalaman Jero Nyoman Nuraga yang ikut rombongan wanita dan anak-anak dari Puri Denpasar untuk mengungsi ke arah barat menuju Desa Kerobokan lalu ke Legian sebelum pertempuran meletus.
foto ini diambil saat perang puputan badung
Dari Pengungsian di Legian, wanita hamil muda ini kembali ke Puri  dan berdiri di samping suaminya untuk ikut mempertahankan Kerajaan Badung dari gempuran pasukan Belanda.

Kisah selengkapnya, bisa langsung datang dan kunjungi Perpustakaan Umum BPAD Kota Denpasar.

Tak hanya bisa dibaca di tempat, buku ini termasuk buku-buku koleksi perpustakaan bisa dipinjam dalam jangka waktu 7 hari untuk yang sudah terdaftar sebagai anggota perpustakaan.

Museum Sidik Jari yang Unik

museum unik dari baliMuseum Sidik Jari terletak di pusat kota Denpasar Bali, tepatnya di jalan Hayam Wuruk 175 Tanjung Bungkak. Pemilik Museum Sidik Jari ini adalah Gede Ngurah Rai Pemecutan yang sekaligus sebagai pelukisnya dan memamerkan hasil karya seninya, beliau adalah cucu dari I Gusti Ngurah Rai. Museum Sidik Jari ini dibangun pada tahun 1993, diresmikan pada tanggal 4 Juli 1994 dan dibuka untuk umum pada tahun 1995
Museum Sidik Jari menampilkan hasil karya seni lukis dengan teknik melukis yang cukup unik, menggunakan kelihaian imajinasi melalui jari telunjuk berupa totol-totolan warna dasar di atas  permukaan kanvas, dan menghasilkan hasil karya seni yang unik, indah dan spektakuler. Polesan seni dari hasil karya anak Bali ini sanggup mengantarkannya meraih penghargaan dari MURI sebuah penghargaan museum record Indonesia, sebagai  pelopor tekhnik melukis dengan jari dan mengkoleksi lukisan sidik jari terbanyak.
Teknik melukis dengan sidik jari ini sebenarnya ditemukan secara sengaja, pada saat beliau melukis dengan tema tari Baris, pada tanggal 9 Juli 1967, namun lukisan tersebut tidak kunjung selesai seperti harapan, sehingga membuat Bapak Gede Ngurah Rai Pemecutan menjadi kesal, beliau berusaha merusak lukisan yang tidak kunjung selesai tersebut dengan menempelkan ujung jari-jemarinya yang berlumuran cat di permukaan kanvas, disinilah muncul ide dan inspirasi untuk membuat lukisan dengan ujung jari telunjuk tidak menggunakan kuas lagi 

Jaja Bali - Tak Lekang Oleh Waktu



Jajanan kaki lima yang manis rasanya
Jajanan khas Bali (Jaja Bali) adalah salah satu kuliner Bali yang tetap eksis sejak dulu hingga sekarang. Rasanya yang enak dengan tekstur lembut, membuat olahan tepung beras ini tak pernah lekang oleh waktu.
Jaja Bali terdiri dari beraneka ragam, seperti Bubuh Sumsum, Injin (ketan hitam), Pisang Rai, Giling-giling, Laklak, dan lukis (atau lupis yang terbuat dari ketan putih yang dikukus berbentuk segitiga) serta masih banyak jenis jajan lainnya.
Jaja Bali dinikmati dengan parutan kelapa dan siraman gula merah yang dikentalkan. Jaja bali bisa diperoleh dengan mudah di Denpasar, baik dijual di pasar tradisional, toko kecil, supermarket bahkan di penjualan kaki lima. 

Salah satunya bisa ditemukan di Jalan Kembang Matahari nomor 19, sebuah toko kecil milik Bu Suryani ini. Sebagai teman Ngopi, Jaja Bali ini laris manis setiap pagi.
Jaja Bali dibuat dari bahan alami, seperti daun kayu sugi sebagai pewarna hijau. Terpwnting, Jaja Bali tidak mengandung bahan pengawet. Tak hanya dinikmati untuk menemani Ngopi, Jaja Bali kini sudah bertransformasi menjadi hidangan kudapan di berbagai acara.